BAB 33.
Asal Hati Baik, Buat Apa Memeluk Agama ?
Tiap Manusia memang asal-nya dari benih baik, maka
sekali mendengar Ajaran Tao, tentu dengan senang hati ingin melakukan-nya dengan sepenuh tenaga.
Setiap Orang yang baik
budi, tiada sesaat pun tidak
memikirkan akan Kebaikan
Dunia.
Namun pada
saat ini pribadi Manusia
di Dunia telah merosot
sedemikian rupa se-olah-olah
hati Manusia telah di-liputi kelicikan dan bahaya
yang sudah menjulang setinggi Langit,
hingga menimbulkan ber-macam-macam
keburukan.
Maka bagi Para Budiman yang selalu memikirkan Ke-Tuhan-an, mereka senantiasa berdaya untuk
menolong Dunia, dan
justru pada dewasa ini Ajaran Ke-Tuhan-an (Thian Too) beredar,
bukan-kah itu ada
sesuatu hal yang meng-gembira-kan untuk ikut melaksanakan-nya ?
Lagi pula
tujuan ber-Ke-Tuhan-an yang utama ialah untuk mengakhiri
kematian sekali ini, guna hidup langgeng selama-lama-nya yang berarti kembali pada asal mula-nya, hingga tidak menemui
kesusahan dalam tangan-nya
Giam Loo Ong (Raja El Maut)
lagi, dengan demikian tidak jatuh pada perputaran-nya roda Tumimbal Lahir.
Kalau di-misal-kan hanya berbaik hati saja, hasil-nya akan cuma menjadi Orang bajik di Dunia fana yang akan menitis kembali
bagi kenikmatan pada titisan mendatang.
Perlu
diketahui bahwa rezeki itu akan ada batas akhir-nya, apabila tempo akhir-nya sudah tiba, apakah yang
akan terjadi, itu-lah
satu tanda tanya lagi; maka kalau di-banding-kan
dengan Orang yang
mengikuti Ke-Tuhan-an dan mendapatkan petunjuk-nya Sang Guru yang dapat bebas dari putaran roda Tumimbal Lahir guna menikmati segala kejayaan,
sungguh jauh sekali beda-nya.
Coba kita
meneliti apa yang Nabi Khong Tju katakan pada Keburukan Kampung dalam satu
kalimat “Penjahat Kebajikan” dan di-banding-kan
dengan kesadaran pada kalimat “Apabila pada pagi hari mengerti Tao, walaupun
sore hari-nya meninggal
dunia pun puas”. Dari perbandingan antara dua kata-kata dari dua kalimat di
atas, kira-nya kita
dapat mengerti apa beda-nya
antara hanya hati baik dan mengikuti Ke-Tuhan-an
(Tao).
* * * * * * * * * *