Halaman

BAB 74

BAB 74.
Apa Yang Di-kata-kan Ke-kosong-an Diri, Ke-kosong-an Hati, Ke-kosong-an Roh dan Ke-kosong-an Dharma ?




Memang benar bahwa badan raga adalah di-lahir-kan oleh Ibu Ayah, juga mempunyai hawa per-nafasan-nya Ibu Ayah yang ber-putar sepanjang sembilan lubang itu dengan macam-macam kekotoran dari empat unsur tidak kekal yang akhir-nya tentu akan rusak.


Orang pandai tahu bahwa diri-nya itu tidak kekal, maka sebelum mati se-baik-nya di-pandang sebagai mati; hanya meminjam badan fana ini untuk mem-bina diri belajar Ke-Tuhan-an. Demikian-lah yang di-kata-kan Ke-kosong-an Diri.



Coba lihat pula hati-nya sendiri, tidak hidup tidak mati, paling keramat dan paling mukjizat, dalam suatu keadaan tertentu nampak-nya ada, namun keadaan-nya hilang, ia pun sirna. Siapa yang dapat menyadari hati Ilahi terus menerus, tidak ber-putar mengikuti pikiran keliru, melainkan mengikuti hati Ilahi-nya sebagai jalan utama maka di-kata-kan Ke-kosong-an Hati.



Coba lihat pula pada Roh-nya sendiri, hening tidak ada gerak-nya, begitu ter-gerak lalu ber-sambung, membuat perubahan yang tidak ada habis-nya, ke-gaib-an yang tak dapat di-per-kira-kan, demikian jelas terang, sendiri-nya sadar dan mengerti, hening dan mukjizat, tanpa perbuatan tanpa kelangsungan, ini-lah yang di-nama-kan Ke-kosong-an Roh.


Lihat pula pada Tathagata ( Jilay Hut ), Dharma yang di-urai-kan, semua-nya leluasa di-pimpin-nya menuju ke Pintu Dharma, seperti air mencuci kotoran, atau obat menyembuhkan penyakit, kalau sudah meng-hasil-kan Dharma ke-kosong-an hati, penyakit-nya sembuh, lalu obat-nya tak di-perlu-kan lagi, ini-lah yang dinamakan menyadari Ke-kosong-an Dharma.



Sebagai kesimpulan dapat di-kata-kan bahwa Dharma yang benar itu tak lain hanya sadar pada sumber-nya hati.


Apabila nafsu keinginan belum ber-henti, akan mudah tertarik oleh pikiran. Hati itu se-benar-nya hening dan sepi, pun dapat men-dadak goyang atau mantap kembali; hati itu memang tidak ada, tapi men-dadak menyimpan pikiran.


Sekali pun mempunyai cukup kebijaksanaan, hening bersih dan biasa, begitu sekali ber-pikir lalu timbul, begitu pikiran-nya ber-gerak lalu ter-tutup; sungguh pun tahu bahwa Dharma pun tak berguna, hening bersih se-wajar-nya, baik buruk semua-nya tidak di-pikir-kan se-olah-olah bodoh dan dungu dengan cara wajar; demikian men-jalan-kan Tao atau membina diri itu di-nama-kan Siu-Hing.


Maka ada peribahasa : “Sedikit pun pikiran tidak timbul, itu-lah Tenang; berasa lalu di-padam-kan, itu-lah Ajaran; melakukan-nya menurut pelajaran, di-nama-kan Mem-bina”.


Mem-bina Manusia di Masyarakat, meng-hasil-kan timbunan Kebaikan yang wajar, namun hasil dari pembinaan peri-Ke-Tuhan-an harus meng-hapus konsepsi saya dan Orang lain. Untuk men-dapat jalan suci atau jalan biasa, tergantung pada perbuatan-nya diri sendiri saja.



* * * * * * * * * * *